TIMES SUMSEL, PAMEKASAN – Pamekasan, Sabtu, 18 Januari 2025 Aroma wangi tanah selepas hujan menyelimuti udara. Di kediaman Mahfud MD, sosok yang dikenal tegas dalam panggung politik, tak kuasa menyembunyikan duka. Matanya menerawang, suaranya lirih saat mengenang perempuan yang telah mengukir jejak tak terlupakan dalam hidupnya: Siti Khadijah, ibunya.
Siti Khadijah, lahir di era 1930-an. Masa sulit. Saat pendidikan formal adalah kemewahan bagi rakyat kecil. Ia tidak pernah mencicipi bangku sekolah, tapi mampu membaca Al-Qur’an dengan fasih. “Ibu saya tidak bisa membaca huruf latin, tapi Al-Qur’an tak pernah lepas dari genggamannya,” ujar Mahfud.
Sederhana. Lembut. Tulus. Begitu Mahfud menggambarkan ibunya. Kehidupan perempuan itu adalah kisah tentang cinta yang tanpa batas. Tentang pengorbanan yang tak pernah minta balasan.
Ketika Mahfud muda memutuskan merantau untuk menimba ilmu, Siti Khadijah mengambil keputusan berat. “Ibu menjual gelang dan kalungnya untuk biaya sekolah dan kost saya,” kenangnya, dengan nada bergetar.
Mahfud tahu, di balik senyuman yang diberikan sang ibu, ada perjuangan yang teramat berat, dia begitu tulus anak-anaknya yang berjumlah sembilan orang. Dua laki-laki dan tujuh perempuan.
Namun, Siti Khadijah tak pernah mengeluh. Ia hanya berkata, “Rajinlah belajar, rajin sekolah, rajin mengaji dan jangan lupa salatmu.” Semua anak-anaknya mendapatkan pendidikan formal yang mumpuni.
Dari sembilan orang anaknya dua orang diantaranya adalah profesor salah satunya adalah Mahfud MD.
Ia tak pernah memaksakan mimpi pada anak-anaknya. Tapi, nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan ibadah selalu ditanamkan. “Itu yang menjadi pegangan hidup saya sampai sekarang,” ujar Mahfud.
Siti Khadijah adalah sosok yang tak pernah meninggalkan salat lima waktu, bahkan rutin mendirikan salat malam. Setiap pagi, selepas salat Subuh, ia membaca Surah Al-Fatihah 41 kali dan beberapa amalan lainnya. Sebuah kebiasaan yang menghidupkan jiwanya dan menjadi teladan bagi keluarga.
Hingga akhir hayatnya, ia tetap konsisten. “Ibu meninggal dengan cara yang sangat indah. Setelah salat Subuh, di hari Jumat, tanpa sakit yang berat,” ujar Mahfud.
Kenangan di Mata Cucu
Syaiful Hidayat, cucu almarhumah yang juga seorang dokter, menggambarkan neneknya sebagai sosok luar biasa. “Nenek sangat penyayang. Ia selalu mengingatkan kami untuk salat, membaca Al-Qur’an, dan rajin belajar. Di matanya, semua cucu itu sama, tak pernah dibeda-bedakan,” kenangnya.
Kesederhanaan Siti Khadijah tercermin dalam kesehariannya. Ia tak pernah mencari kemewahan, kecuali untuk memberangkatkan dirinya ke Tanah Suci. Umrah menjadi hobinya, meski di usia senja, namun tahun ini, Mahfud melarangnya pergi Umrah demi menjaga kondisi kesehatan.
"Ibu saya itu orang yang rajin umrah. Setiap tahun dia selalu pergi umrah tapi tahun ini saya melarangnya karena melihat kondisinya sudah tidak memungkinkan. Kalau saya tidak melarangnya pergi umrah bersama adik saya, mungkin sekarang dia meninggal di tanah suci," ujarnya.
Hari Perpisahan
Pada Jumat, 17 Januari 2025, Siti Khadijah berpulang. Usianya 94 tahun. Ia dimakamkan selepas Magrib di TPU Desa Plakpak, Pamekasan, berdampingan dengan suaminya, Mahmodin.
Dalam keheningan itu, Mahfud menulis pesan terakhir untuk ibunya:
SELAMAT JALAN IBUKU
Bu, kepergianmu menghadap Sang Khalik ba’da shubuh pada Jumat pagi ini mengagetkan anakmu.
Tentu saya menangis, tetapi terus berdoa dan membaca surat Yasin untukmu, surat dalam Qur’an yang engkau hafal dan selalu baca.
Temuilah ayahku, abah Mahmudin, yang adalah suamimu. Beritahu pada ayah bahwa tugasmu menemani anak-anak dan cucu-cucu sudah selesai.
Ayah pasti menyambutmu dengan senyum dan sabar seperti yang biasa ditunjukkannya selama hidupnya kepada kita.
Namamu Siti Khadijah, semoga nasibmu di akhirat diterima oleh Allah seperti Ibu kaum muslimin Siti Khadidjah yang isteri Nabiyullah Muhammad Sallallahu alaihi wa sallam.
Engkau seorang Ibu yang hebat, selalu membimbing dan menyinari rumah kami. Hidupmu sederhana dan selalu jujur.
Tapi engkau Ibu pernah tak jujur kepadaku. Ketika aku sedang sakit, engkau selalu duduk di tepi tempat tidurku sampai tengah malam. Ketika ditanya, “Apa Ibu tidak mengantuk? Tidak capek?” tanyaku. “Tidak nak, saya tidak capek”, jawabmu sambil mengompres dahiku dengan handuk hangat, padahal saya tahu engkau capek dan mengantuk.
Ketika aku akan melanjutkan sekolah ke kota engkau jual perhiasanmu, gelang dan kalungmu, untuk biaya sekolah dan kostku. Engkau bilang, “Ini untuk biaya sekolahmu, rajinlah belajar, jangan lupa salatmu”.
Selamat jalan Ibu, kami tak akan terlalu lama menangisi kepergianmu tetapi kami akan terus mengenangmu dan berdoa untuk kebaikanmu di sana. Salam kepada ayahku, abah Mahmudin yang sudah lama menunggumu di sana.
Siti Khadijah telah tiada. Tapi, nilai-nilai hidup yang ia tanamkan tetap hidup. Dalam setiap langkah Mahfud MD. Dalam doa-doa anak dan cucunya. Di hati semua yang mengenalnya. Selamat jalan, Ibu. Engkau telah menyelesaikan tugasmu dengan sangat baik. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Mengenang Almarhumah Siti Khadijah, Ibu yang Membentuk Karakter Mahfud MD
Pewarta | : Syarifah Latowa |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |